Senja menyuar pancarkan sinarnya yang ayu nan sayu, kicauan para kutilang turut menambah estetikanya, semerbak udara pun tak luput menemani, membuat semua mata memandang terpukau padanya. Di antara keindahan senja nan pernah-perniknya, seorang perempuan berjas layaknya wanita karir tengah mengemudi mobil melewati bangunan-bangunan klasik untuk mencapai sebuah desa yang berada di ujung kota sembari menikmati suasana.
Kringgggg………… Sebuah deru telepon genggam membuyarkan lamunannya
“Halo? Iya Bu, aku udah di jalan, mungkin 3 jam lagi aku sampai sana,” ucap perempuan tersebut yang kemudian disambung dengan kalimat “Iya Bu, tenang aja. Kalau gitu aku lanjut dulu yaa.”
Dia adalah Adhisti Tenindrati, atau yang kerap disapa Dhisti. Seorang perempuan berusia 25 tahun dan tinggal jauh dari kampung halamannya demi mencari sang rezeki. Dhisti merupakan seorang pegawai akuntan di sebuah perusahaan yang terletak di tengah kota metropolitan.
Setelah menutup telepon dari ibunda tercintanya, Dhisti Kembali menikmati sang senja yang indah tiada tara. Hidup di tengah kota selama hampir 7 tahun dalam hidupnya, membuatnya bosan dan lelah akan pemandangan yang ia cerna setiap hari. Mulai dari pemandangan orang berlarian pergi kerja atau kuliah, suara klakson para pengemudi emosional saat lampu lalu lintas berwarna hijau, bahkan sambatan para pejuang cuan seperti dirinya yang berangkat petang pulang petang pun telah menjadi makanannya setiap hari. Bagi seorang Dhisti, dapat menikmati sang senja didukung keheningan dan tanpa adanya beban pekerjaan yang menghantui seperti saat ini adalah sebuah momen yang sangat istimewa dan langka.
Ketika Dhisti mengemudikan mobilnya, tanpa sengaja ia melihat sebuah pemandangan yang tak asing baginya. Sekumpulan remaja tampak sedang menari di sebuah lapangan dengan anggun nan indah diiringi oleh busana-busana adat yang mereka kenakan serta dentuman gamelan yang terdengar merdu. Tak hanya itu, suara tepukan tangan juga turut mengiringi tarian mereka. Dhisti pun berhenti sejenak untuk menikmati keindahan tersebut.
“Keren banget tariannya.” puji Dhisti atas tarian tersebut dan kemudian berkata “Andai saja dulu aku ga masuk ke dunia itu, pasti sekarang aku sudah menjadi seorang penari yang dikeliliingi alunan musik gamelan seperti itu, bukannya menjadi seorang pekerja yang dikelilingi suara klakson dan sambatan tak jelas.” keluh Dhisti pada dirinya sendiri.
“Huh, sudahlah. Mungkin memang takdirku seperti ini, syukuri saja.” ucap Dhisti sembari menghembuskan nafas panjang dan kemudian menyalakan mesin mobilnya untuk melanjutkan perjalanan.
Bukannya tak bersyukur atas pekerjaannya saat ini, namun sebagai seorang pecinta budaya tari sepertinya, menjadi seorang penari adalah sebuah hal yang sangat diimpikannya. Namun, dikarenakan sebuah peristiwa yang kian memberinya trauma, menjadi seorang penari adalah hal yang mustahil. Orang tua Dhisti pasti tidak akan menyetujuinya, sementara Dhisti juga merupakan seorang Perempuan yang sangat menaati perintah kedua orang tuanya.
Selama perjalanan, benak Dhisti penuh akan jeratan memori masa lalu yang membuat dirinya mendapatkan salah satu kenangan terburuk bahkan trauma terburuk dalam hidupnya.
-flashback-
Saat ini Dhisti telah menginjak kelas sembilan SMP. Seperti remaja pada umumnya, Dhisti tengah merasakan bumbu-bumbu asmara dalam hatinya, seringkali Ia mencuri pandang pada seorang remaja laki-laki yang merupakan anak dari Bu Kartika, seorang pemilik sanggar dekat sekolahnya, sanggar itu bernama Bipro Sanggar.
Suatu hari, Ia memutuskan untuk bergabung dalam komunitas tari yang rutin mengadakan latihan di sanggar Bipro. Tentu saja tujuan awal Dhisti bergabung dalam komunitas tersebut adalah karena Ia ingin mengetahui lebih dalam tentang anak sang pemilik sanggar. Namun, tak disangka Dhisti malah jatuh cinta terhadap budaya tari.
Seiring berjalannya waktu, rasa cinta Dhisti terhadap seni tari semakin kuat, dia semakin giat belajar seni tari. Setiap hari ia berlatih menari di Bipro Sanggar baik bersama komunitasnya maupun teman-teman di sekolahnya yang juga memiliki minat dalam seni tari.
“Dhisti, sini nak,” panggil Bu Kartika ketika Dhisti selesai berlatih tari bersama komunitasnya.
“Iya tante, ada apa ya?” Dhisti mendatangi Bu kartika yang kemudian menyalimi tangannya.
“Ini tante ada es cokelat buat kamu, kamu pasti kecapean selesai latihan.”
“Duh gak usah repot-repot tante,” Dhisti tersenyum sembari menerima segelas es cokelat.
“Gak ngerepotin kok Dhisti, ini tadi Ibu sekalian buatin anak Ibu sama Pacarnya.”
Senyum Dhisti pun luntur, apakah maksud dari Bu Kartika adalah Abiwara Agraja? Seseorang yang disukai Dhisti diam-diam selama ini?
Dhisti pun memberanikan diri untuk bertanya “Maksudnya kak Abiwara, tante?”
“Iya nak, Abiwara,” jawab Bu Kartika dengan sumringah.
“Akhirnya nak, ibu ikut seneng sama mereka. Semenjak kepergian ayahnya, Abi selalu terlihat murung. Tapi semenjak ada pacarnya sekarang Ia sudah mulai kembali ceria seperti dulu,” lanjut Bu Kartika sembari mengelap air matanya.
“Hehe iya tante, aku juga ikut seneng dengernya,”
Dhisti memeluk Bu Kartika dan mencoba menenangkannya, walaupun sebenarnya hatinya juga sakit.
Itu adalah kali pertama seorang Dhisti merasakan patah hati dalam hal romansa.
Beberapa hari berlalu, luka patah hati pertama Dhisti pun kian membaik. Kini Ia ingin belajar lebih dalam tentang seni tari. Beberapa hari setelah Dhisti mengetahui bahwa Abiwara, sang cinta pertamanya memiliki pacar, Dhisti mulai jarang berlatih di Bipro sanggar. Ia memilih untuk berlatih menari di sanggar yang lain, yakni klosika Sanggar bersama beberapa temannya.
Klasiko sanggar adalah sebuah tempat berlatih seni tari yang terletak di pedesaan yang terkenal akan ilmu hitamya, banyak orang-orang yang bermain ilmu hitam tinggal di desa ini, bahkan bisa dibilang klasiko sanggar ini juga memiliki aura mistis.
Pemilik dari klasiko sanggar adalah seorang nenek tua yang tidak memiliki anak ataupun cucu. Nenek itu bercerita kepada Dhisti saat Dhisti menemui beliau untuk meminta izin belajar tari di sanggar bahwa beliau tidak pernah menikah.
Hari ini adalah hari pertama Dhisti belajar menari di klosika sanggar. Clarisa yang merupakan teman dari Dhisti belajar tari sudah pulang terlebih dahulu pada pukul setengah empat sore karena merasa pusing.
Kini adzan maghrib telah berkumandang, sang surya telah kembali dari tugasnya dan beristirahat. Namun, tidak dengan Dhisti. Ia masih giat belajar menari walaupun sendirian di tempat asing yang bahkan ia temukan tanpa sengaja.
Brukkkk
Terdengar sebuah suara yang menandakan bahwa ada sebuah barang yang terjatuh, dilihat olehnya sebuah buku yang terjatuh dari atas lemari berdebu di pojok sanggar.
Dhisti yang merasa ingin tahu akan apa yang ada di dalam buku tersebut akhirnya membuka lembaran buku satu persatu. Ditemuinya gambar-gambar gerak tari beserta tulisan yang terasa asing baginya.
Dirasa gerakan tari yang ada cukup indah, akhirnya Dhisti memutuskan untuk mencoba mempraktekkan gerakan yang ada.
Tiba-tiba, Dhisti terjatuh pingsan. Namun, kenyataannya Dhisti tidak merasa demikian, ia masuk ke sebuah hutan ajaib. Hutan itu begitu indah, dipenuhi akan pohon berwarna-warni. Namun, ada banyak monster berkeliaran, ada yang berbentuk seperti kucing berwarna merah muda, badak berwarna ungu, dan lain sebagainya.
“Dunia apa ini?” tanya Dhisti pada dirinya sendiri.
Dilihatnya sebuah sungai dengan air yang berwarna merah.
“Apakah ini air? Tapi kenapa warnanya seperti api lava? Ah, ini tidak masuk akal, airnya saja sepertinya tidak panas,” ucap Dhisti dan dilanjut “Tadi aku sedang belajar menari, kenapa tiba-tiba aku di sini? Dunia apa ini?”
Dhisti frustasi dan akhirnya memilih untuk berjalan melawan arus aliran sungai tersebut selama beberapa jam, berharap akan menemukan alasan mengapa sungai itu berwarna merah.
Siapa sangka, dari kejauhan ia melihat seseorang menari dengan lihainya di atas sebuah batu besar yang ternyata merupakan sumber dari sungai air merah.
Dhisti memutuskan untuk mendekat dan melihat ada dua buah hulu sungai yang bersumber dari batu tersebut. Di sebelah kanan penari ada sebuah hulu sungai berwarna biru, sedangkan sebelah kiri penari tersebut berwarna merah.
“Permisi,” Dhisti berusaha untuk mendapatkan perhatian penari tersebut.
Betapa terkejutnya Dhisti, penari tersebut memiliki wajah yang amat rupawan. Kecantikannya tak dapat dideskripsikan membuat seorang Dhisti mematung, terpaku akan kecantikan penari.
Penari itu tampak terkejut, ia membelalakkan matanya dan kemudian berusaha untuk menetralkan ekspresinya sebisa mungkin.
“Kamu sedang apa di sini?” tanya sang penari pada Dhisti sembari menuruni batu sumber sungai tersebut.
Ternyata tidak hanya mukanya yang rupawan, suaranya pun terdengar sangat merdu walau tidak sedang menyanyi.
“Aku gak tau, tadi aku menemukan sebuah buku berisi gambar gerak tari dan kemudian aku mengikutinya,” jawab Dhisti sembari menenangkan dirinya sendiri.
Penari terebut tersenyum manis, menambah kesan kecantikannya, dan kemudian berucap “Ohh begitu, siapa namamu gadis cantik?”
“Dhisti, kalau kamu siapa?” tanya Dhisti.
“Tidak perlu tahu namaku, Dhisti. Lebih baik kamu kembali ke duniamu sendiri, ini bukan tempatmu,” jawab penari
Dhisti menunduk dan memainkan tangannya, kemudian berkata “Aku tidak tahu caranya.”
“Mudah saja, kamu hanya perlu menari dengan gerakan terbalik di atas batu ini,” ucap sang penari sembari menunjuk batu tadi.
“Tarian apa? Yang ada di buku tadi?”
“Iya, masih ingat gerakannya kan?” penari tersebut tersenyum dan mencoba untuk memastikan bahwa Dhisti masih mengingat gerakan tariannya. Akan menjadi masalah besar bila Dhisti melupakan gerakan tersebut.
Dhisti mengangguk, memberikan tanda bahwa ia mengiyakan pertanyaan dari sang penari dan kemudian segera naik ke atas batu untuk menari.
Setelah menyelesaikan tarian secara terbalik, tidak ada yang terjadi dengan Dhisti. Ia masih terjebak dalam dunia aneh yang penuh warna.
“Apakah kamu yakin masih mengingatnya, Dhisti?” tanya penari untuk memastikan.
Orang yang ditanya tidak menjawab atau mengatakan sepatah kata pun, ia terus berusaha menari dengan gerakan terbalik sebanyak dua kali percobaan.
Sang penari semakin risau akan Dhisti, Ia takut jika Dhisti tidak dapat kembali ke dunianya sendiri.
“Tenang Dhisti, coba menarikah dengan tenang,” penari tersebut mencoba menenangkan Dhisti.
Setelah percobaan yang ketiga, akhirnya Dhisti bangun dari pingsannya dan tersadar. Ia melihat nenek pemilik sanggar tengah bersama clarisa dan kedua orang tuanya. Ia tidak berada di sebuah sanggar, melainkan berada di sebuah ranjang di rumah sakit.
“Nduk, udah tiga hari kamu pingsan. Kami khawatir,” ucap Ibu Dhisti.
-end flashback-
Tanpa sadar, kini mobil Dhisti telah mencapai jalan desanya. Ia menyadarkan dirinya dan kemudian menyikap air mata yang telah mengering.
Dilihatnya orang tua dari Dhisti sudah berada di halaman rumahnya menanti kedatangan sang kesayangan. Maklum saja, Dhisti adalah seorang anak tunggal dan pastinya orang tua Dhisti sangat menyayanginya.
“Ibu, Bapak,” Dhisti menyalimi tangan kedua orang tuanya yang kemudian disambut pelukan hangat dari sang Ibu.
“Kamu itu loh, sebulan sekali pulang atau paling gak dua bulan sekali. Ini udah satu tahun setengah kamu baru pulang. Lihat itu ibumu, dia sudah beberapa bulan ini sering mengigau tentang kamu,” Sahut bapak Dhisti
“Hehe maaf pak, Dhisti banyak kerjaan di kota,” jawab Dhisti sembari tersenyum menampakkan lesung pipinya yang manis.
“Udah, sekarang masuk kita makan, kamu pasti lapar Nduk,” Kata Ibu Dhisti sembari berjalan masuk diikuti oleh kedua tikus dan kucingnya.
Dhisti dan sang bapak memang sering bertengkar akan sesuatu hal yang sepele, namun, hal ini tidak membuat mereka saling membenci. Justru hal ini membuat suasana rumah menjadi semakin hangat.
“Ibu, tadi Dhisti lihat ada pertunjukkan tari,” ujar Dhisti sembari memakan sebuah apel.
“Halah, jangan aneh-aneh kamu. Kamu mau masuk ke dunia itu lagi?” sahut bapak dari Dhisti.
Mendengar jawaban yang tidak mengenakkan dari sang Bapak, Dhisti pun melirik ke Ibunya dan berharap untuk mendapatkan jawaban yang diinginkannya. Namun, sebaliknya ia juga mendapat tatapan tak enak dari sang Ibu.
“please, aku pasti jaga diri kok. Sekarang kan udah besar. Aku pengen banget belajar tari lagi,” mohon Dhisti pada orang tuanya sembari mengepalkan tangan beserta mata yang telah berair.
“Ya sudah, boleh tapi hanya tiga hari selama di desa dengan pengawasan pula dari kami,” jawab Ibu Dhisti.
No comments:
Post a Comment